UNY-AICHI Lakukan Pengembangan Framework Peace Education di Indonesia dan Jepang

Keterangan Foto: 
FGD Penelitian UNY - Aichi

Yogyakarta – Sebuah penelitian kolaboratif antara tim Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan tim peneliti dari Aichi, Jepang, berhasil merumuskan kerangka pendidikan perdamaian yang menggabungkan kearifan lokal Indonesia dan tradisi historis Jepang.

Tim peneliti dari UNY dipimpin oleh Prof. Nur Hidayanto Pancoro Setyo Putro, S.Pd., M.Pd., Ph.D. dengan anggota Dr. Satya Perdana, S.S., M.A., Dr. Adriani Yulia Purwaningrum, M.Pd., dan Annisa Nurul Firdausi, S.S., M.Hum.. Dari pihak Aichi, penelitian ini melibatkan Yoshitaka Kozuka, Yuji Waida, dan Majima Kiyoko sebagai mitra kolaborasi.

Penelitian ini berangkat dari realitas bahwa konflik sosial-politik di berbagai belahan dunia menuntut hadirnya pendidikan perdamaian yang tidak hanya mengajarkan pencegahan konflik, tetapi juga menanamkan nilai empati, toleransi, dan kerjasama. Di tingkat global, UNESCO mendorong pendidikan perdamaian melalui dialog antarbudaya, namun efektivitasnya sering kali bergantung pada kearifan lokal yang ada di setiap wilayah.

Yogyakarta dan Nilai Kearifan Lokal

Yogyakarta dikenal dengan tradisi gotong royong (kerja sama), tepa selira (empati dan rasa hormat), serta musyawarah mufakat yang telah menjadi fondasi harmoni antar etnis dan agama. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam kurikulum formal sekolah. Praktik pendidikan perdamaian di Yogyakarta masih lebih banyak bergantung pada inisiatif guru dan kegiatan komunitas.

Aichi dan Memori Sejarah Perdamaian

Sementara itu, Aichi memiliki sejarah unik sebagai wilayah yang mengalami serangan udara pada Perang Dunia II. Dari pengalaman inilah lahir komitmen kuat terhadap pendidikan perdamaian, termasuk pendirian Peace Aichi Museum pada tahun 2007 dan Aichi-Nagoya Declaration pada 2014. Di Jepang, pendidikan perdamaian terintegrasi lebih formal ke dalam kurikulum moral dan kewarganegaraan, meskipun guru sering mengeluhkan beban kurikulum yang berlebihan sehingga praktiknya cenderung menjadi rutinitas simbolis.

Temuan Penelitian

Hasil studi menunjukkan bahwa kedua wilayah memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Yogyakarta menonjol dalam fleksibilitas berbasis komunitas, sementara Aichi unggul dalam konsistensi kurikulum. Keduanya menghadapi persoalan serupa, yakni kurangnya dukungan institusional dan keterbatasan pelatihan guru.

“Peace education bukan hanya soal menghindari konflik, tapi tentang bagaimana menghargai perbedaan dan menjadikannya kekuatan,” ungkap salah satu peserta FGD di Yogyakarta. Sementara seorang guru di Aichi menyatakan, “Tanggung jawab kami adalah membantu siswa melihat perdamaian sebagai praktik sehari-hari, bukan sekadar pelajaran sejarah.”

Implikasi dan Rekomendasi

Penelitian ini menegaskan bahwa model pendidikan perdamaian ideal harus menggabungkan kekuatan kedua konteks: pendekatan berbasis budaya lokal seperti di Yogyakarta, dan integrasi historis serta kebijakan formal seperti di Aichi. Dengan demikian, lahir model hibrida pendidikan perdamaian yang relevan secara lokal sekaligus berorientasi global.

Rekomendasi utama penelitian ini antara lain:

  1. Integrasi pendidikan perdamaian secara sistematis dalam kurikulum lintas mata pelajaran.

  2. Pelatihan guru yang berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi pedagogis dan sensitivitas budaya.

  3. Kolaborasi antara sekolah, komunitas lokal, dan mitra internasional guna memperkaya perspektif siswa.

Dengan kerangka baru ini, diharapkan generasi muda tidak hanya memahami pentingnya perdamaian, tetapi juga mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari—baik di tingkat lokal maupun global.